Senin, 12 September 2016

Pro Dan Kontra Permintaan Maaf Kepada Korban Tragedi 1965


50 tahun lebih kejadian itu sudah berlalu tetapi penyelesaian hukum kasus pelanggaran HAM tahun 1965/1966 belum ada titik terang. Pemerintah tampaknya memilih untuk menempuh rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM pasca G30S PKI. Tetapi masih mendapatkan tantangan dari sejumlah pihak, terutama terkait rencana menyampaikan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM 1965/1966

Jaksa Agung HM Prasetyo Prasetyo kembali menegaskan permintaan maaf itu merupakan bagian dari proses rekonsiliasi.

"Itu tahapan dan poin-poin yang dilakukan itu bagian dari rekonsiliasi, tunggu itu".
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Prasetyo menjelaskan beberapa tahapan dalam proses rekonsiliasi untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Tahapan pertama rekonsiliasi : pengungkapan kebenaran, mengaku memang ada pelanggaran HAM masa lalu dan membuat komitmen ke depan tidak terulang kembali, tahap ketiga baru itu pernyataan penyesalan tapi masih jauh ke tahap itu, terakhir itu baru rehabilitasi atau kompensasi itu pun tergantung pada kemampuan pemerintah atau negara," jelas Prasetyo.

Prasetyo mengakui komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu termasuk kasus 65/66, termasuk meminta maaf kepada para korban, tetapi upaya itu masih mendapatkan banyak tantangan.


Tetapi, dia mengatakan presiden telah menyampaikan harapannya agar kasus pelanggaran HAM diselesaikan dengan rekonsiliasi.

"Presiden sudah menyampaikan ada wacana tawaran gagasan atau harapan untuk kita bisa selesaikan dengan pendekatan nonyudisial yaitu rekonsiliasi, itu sudah dipertimbangkan masak-masak, perkara itu sudah begitu lama," jelas Prasetyo pada Jumat (25/09).

Prasetyo mengatakan UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan peluang untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui rekonsiliasi.

Pembentukan Komite rekonsiliasi telah disepakati dalam rapat gabungan yang terdiri dari Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementrian Koordinator Politik, pada Mei lalu, dan nantinya akan bekerja langsung di bawah pengawasan presiden.

Meski demikian, sampai saat ini masih sedikit yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk para korban pelanggaran HAM 1965. Sementara diskriminasi masih berlangsung sampai kini, sejumlah pertemuan di sejumlah tempat yang dilakukan oleh para eks tahanan politik yang sudah berusia lanjut dibubarkan.

Penolakan

Kalangan pemerintah, rencana untuk meminta maaf kepada para korban kasus pelanggaran HAM 1965/66 masih ditanggapi berbeda. Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan tidak mengetahui mengenai rencana tersebut.

"Permintaan maaf itu, timbul dulu diperkirakan dalam pidato kenegaraan presiden (14 Agustus 2015). Tapi ternyata kan tidak ada, tidak tahu dasarnya apa, tapi yang jelas tidak ada itu permintaan maaf dari presiden, karena tidak jelas mau minta maaf oleh siapa atas salah apa kan," jelas Jusuf Kalla.

Dalam pernyataan kepada media, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan negara tak perlu meminta maaf kepada keluarga anggota dan simpatisan PKI.


Sementara ormas Islam NU menyatakan menolak rencana permintaan maaf dari pemerintah, seperti disampaikan Wakil Ketua Umum NU Slamet Effendi Yusuf yang berada di Arab Saudi dalam keterangan tertulis kepada BBC Indonesia akhir pekan lalu.

"Saya masih berharap presiden tidak melakukan itu, NU jelas tidak setuju dengan rencana itu, presiden tidak bisa melihat peristiwa 65 dengan perspektif sekarang, apa yg terjadi di 65 berada dalam konteks politik yang tidak bisa dilepaskan dari perilaku PKI sejak 1960 yang sangat konfrontatif dengan kekuatan politik lain khususnya Islam," jelas Slamet.

Lebih lanjut Slamet menyatakan permintaan resmi dari pemerintah akan memberikan implikasi yang mengesankan kelompok non-komunis bersalah dan merupakan pemutarbalikan sejarah.

"Dan PKI, Pemuda Rakyat, BTI, Lekra dan lain-lain yang benar, kemudian ABRI, NU, Banser, dan lain-lain dianggap salah. Wah, ini pemutar balikan sejarah," kata Slamet.

Minta maaf pada korban bukan PKI

Kekhawatiran itu, ditepis oleh Ketua Komnas HAM Nurcholis yang menyatakan permintaan maaf yang disampaikan presiden ditujukan kepada para korban pelanggaran HAM 65, bukan kepada partai tertentu dalam konteks ini PKI.

"Ini tidak menyangkut dengan ideologi. Misalnya presiden harus menyatakan penyesalan kepada partai tertentu, tidak," jelas Nurcholis. "Dalam konteks korban-korban anak bangsa itulah, Presiden menyatakan penyesalannya".

"Dia harus menyatakan penyesalan bahwa telah terjadi conflicting ideology (konflik ideologi) di masa lalu, akan tetapi bukan itu poinnya. Poinnya adalah dari proses politik itu telah menimbulkan serangkaian kesengsaraan bagi negara ini dan telah melahirkan banyak korban," tambah Nurcholis.

Komnas HAM mengharapkan, Presiden Joko Widodo dapat mengambil inisiatif untuk meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965. Upaya itu menurut Nurcholis, penting dilakukan untuk menunjukkan negara menghormati HAM.

Rehabilitasi nama baik

 

Dalam laporan hasil penyelidikan Komnas HAM jumlah korban diperkirakan mencapai 500 ribu sampai 3 juta orang dalam peristiwa pembunuhan massal yang terjadi di sejumlah daerah. Ratusan orang dipenjara dan sekitar 12.000 orang di buang ke Pulau Buru untuk menjalani kerja paksa.

Diro Utomo, seorang petani dari Boyolali yang dibuang ke Pulau Buru, mengharapkan pemerintah untuk merehabilitasi nama baiknya.

"Kalau menurut saya negara kita sudah memiliki UU, kalau kita tidak salah terus disalahkan yang dituntut itu kan pengembalian nama baik. Kalau orang ditahan segitu lamanya tetapi tidak pernah melalui proses hukum, tak pernah diadili berarti kan saya merasa tidak salah," ungkap Diro.

Diro yang masih menetap di Pulau Buru mengharapkan selain meminta maaf dan rehabilitasi nama para korban, pemerintah harus menjamin agar pelanggaran HAM seperti kasus 1965/66 tidak terulang.

"Nah kemudian hal-hal yang saya alami penyiksaan yang luar biasa itu jangan sampai terjadi terulang kembali kepada siapa pun dan kapan pun, bagaimana orang ditahan selama puluhan tahun, tidak terbukti kesalahannya itu bagaimana. Karena gara-gara saya di tahan, istri saya meninggal karena stres dan anak yang dilahirkan juga ikut meninggal," harap Diro.

Diro dibuang ke Pulau Buru sejak 1971 setelah berpindah-pindah penjara dari Jawa Tengah ke Nusa Kambangan.

Penyelesaian hukum

Menurut Prasetyo, pemerintah memilih untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM termasuk kasus 1695/66 melalui jalan non yudisial karena sulit mencari bukti dan tersangka yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.

"Sementara tentunya ada berbagai kesulitan dan kendala bukti saksi tersangkanya kalaupun ada waktu itu kan chaos kan siapa berbuat apa juga sulit ditentukan, untuk itu kita diharapkan apat menempuh penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dengan jalan rekonsiliasi" jelas dia.

Pada 2012 lalu, hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyebutkan adanya pelanggaran HAM berat pasca gerakan 30 September 1965, menemukan adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi pasca pembunuhan enam jenderal dan perwira menengah Angkatan Darat.

Berdasarkan penyelidikan selama empat tahun Komnas HAM menemukan cukup bukti adanya dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa G30S, seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, penyiksaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik pemerkosaan dan penghilangan orang secara paksa.

Dalam laporan itu, Komnas HAM juga menyebutkan semua pejabat dalam struktur Kopkamtib 1965-1968 dan 1970-1978 serta semua panglima militer daerah saat itu dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Laporan tersebut sudah disampaikan kepada Jaksa Agung pada 2012 lalu, tetapi belum sampai pada proses hukum.

Meski pemerintah akan melakukan rekonsiliasi bagi korban pelanggaran HAM 1965, sejumlah kalangan menyatakan proses hukum tetap harus dijalankan.

Koordinator KKPK (Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran ), yang merupakan koalisi 50 organisasi pegiat HAM, Kamala Chandrakirana menyatakan pertanggungjawaban secara hukum tetap penting dilakukan.

“Tidak bisa kita bicara rekonsiliasi dan tidak bicara tentang keadilan lewat sebuah proses hukum karena begitu banyak orang telah dipenjara selama lebih dari 10 tahun tanpa proses peradilan sedikit pun,” kata Kemala.

Kemala mempertanyakan proses rekonsiliasi yang akan dilakukan pemerintah.

"Itu rekonsiliasi itu antara siapa, dan bagaimana dengan nasib korban yang cukup lansia, ataupun mereka yang hidup ditengah kemiskinan karena selama ini telah dillupakan dan dikucilkan dari pembangunan misalnya, rekonsiliasi saja tidka cukup karena korban membutuhkan pemiluhan," jelas Kemala.

Kemala menyatakan tidak ada jalan tunggal dalam penyelesaian dalam kasus pelanggaran HAM 65/66, harus melibatkan para korban dan penyintas, serta ada perubahan kebijakan dan institusi ataupun di masyarakat yang memainkan peran sehingga terjadinya kekebalan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar